Manifestasi Tuhan sebagai Dewa-Dewi
Filsafatuhan Yang Maha Esa adalah hakikat kebenaran, realitas absolut, seru para Rsi, Beliau itu bukan ini dan bukan itu. Beliau itu sifatnya Sat-Chit-Ananda (penuh berlimpahan dengan eksistensi suci kesadaran karunia) yang merupakan intisari dan makna dari seluruh penciptaan jagat raya dan segala isinya yang sebenarnya terbungkus oleh kesadaran dan kebahagiaan Ilahi yang serba gaib dan misterius.
Kembali kewujud dewa-dewi, maka semua ide dan makna yang ada di balik penampilan sebenarnya adalah sebuah fenomena alam yang sistimatik yang sesungguhnya utusan Tuhan itu sendiri. Beliau dikenal dengan nama Para Brahman, kata para berarti dari zaman awal, tak bermula, dan Brahman adalah kata lain dari Tuhan Maha Pencipta, kemudian oleh manusia dimuliakan dengan berbagai macam sebutan yang dikaitkan dengan berbagai jenis simbol untuk mempermudah menghayatinya dengan berbagai macam cara yang antara lain melalui budaya.
Dengan dasar kebudayaan timbul dan berkembang dari benih yang ada sejak jaman dulu kala, yang terbukti dari peninggalan-peninggalan baik berupa lingga-lingga, arca-arca, dan candi. Berdasarkan temuan-temuan tersebut bahwa agama berkembang pada saat itu adalah agama Hindu dan Budha, didasari oleh adanya bukti dalam bentuk relief maupun lukisan/tulisan pada arca-arca, lingga, dan candi yang menggambarkan dewa Brahma, Wisnu, Siwa, Saraswati, Durga dan Ganesa. Di mana temuan-temuan atau peninggalan ini ada di Jawa, Bali dan Sumatera. Peninggalan yang ditemukan oleh ahli budayawan yang menonjolkan bentuk arca Brahma, Wisnu, Siwa, Saraswati, Durga, dan Ganesa mengandung makna yang amat tinggi.
Brahma
Dewa ini adalah asal-usul, benih dari seluruh ciptaan-ciptaan ini, sifatnya tak terbatas ditinjau dari sudut ruang waktu, nama, asal-usul dan bentuk yang datang dariNya. Beliaulah ciptaan pertama dari Hyang Maha Esa, dan membawa serta dengannya sifat ahankara. Secara teologis beliau sering dianggap sebagai pencipta yang tidak diciptakan (Svayambhu), manusia yang terlahir sendiri. Beliaulah leluhur utama kita dengan segala kebajikan dan kebejatan morlanya, tetapi juga adalah yang serba maha dan disebut juga sebagai ayah-bunda kita (Pitamaha). Beliaulah Widhi, beliau juga Lokesa, pemimpin alam semesta, beliau juga disebut Dhatr, yang mengayomi. Beliau juga disebut Viswakarma, sang arsitek agung dari jagat-raya ini.
Menurut mitologi Hindu, Brahma lahir dari pusar Maha Wisnu, itulah sebabnya beliau juga disebut Nabhija ( yang lahir dari pusar), Kanja ( yang lahir dari air) dan sebagainya. Sebenarnya nama asli beliau adalah Narayana, namun kemudian nama tersebut diambil alih oleh Sri Vishnu. Sang Brahma dan shaktinya Dewi Saraswati dapat dikisahkan secara singkat sebagai berikut :
-
Brahma lahir (menetes) dari sebuah indung telur yang berwarna emas di lautan sorgawi yang tak bertepi. Shaktinya Vac (baca wach) atau Saraswati terlahir darinya. Gabungan dari keduanya ini menghasilkan semua bentuk makhluk-makhluk di alam semesta ini.
-
Brahma menghadirkan berbagai Veda dan Dewi Saraswati mengadirkan arti, makna dan semangat Veda-veda ini. Semua ilmu pengetahuan, ajaran-ajaran suci, literatur, seni budaya dunia mengalir keluar dari gabungan pasangan dewa-dewi ini. Saraswati adalah dewinya peradaban, seni-budaya manusia.
-
Konon di suatu waktu yang amat silam, Brahma bereinkarnasi sebagai seekor babi hutan jantan yang menyelamatkan bumi yang terendam ini, dan menciptakan dunia baru beserta para resi dan para prajapati, namun kemudian peranan ini diambil alih oleh Vishnu dalam legenda-legenda berikutnya.
-
Demikian juga dengan berbagai reinkarnasi lain seperti kura-kura dan ikan pernah juga dijalani oleh Dewa Brahma, namun di zaman-zaman berikutnya peranan tersebut digantikan oleh Sang Vishnu.
-
Dari pikiran Sang Brahma lahirlah resi-resi suci Sanatana Dharma yang amat terkenal, yaitu Marici, Atri, Angiras, dan lain-lain juga Manu, manusia pertama yang adalah cucu sang Brahma.
-
Sang Brahma mudah sekali merasa puas dengan pemujaan yang dihaturkan oleh pemujanya, walaupun mereka berasal dari kaum asuras, legenda penuh dengan karunianya bagi siapa saja.
-
Beliau dikenal sebagai penemu seni-teater, musik, seni-seni, seni-sulap, dan lain-lain
-
Beliau juga pernah berfungsi sebagai pendeta yang menikahkan Dewa Shiwa dengan Parwati.
Dewa Brahma amat dipuja di zaman-zaman yang telah silam, namun pemujaan di Kali-Yuga ini umumnya telah beralih ke Dewi, Shiwa, Ganeshya dan Krishna (Vishnu). Beliau digambarkan berkepala empat, setiap kepala ini mengarah ke satu mata angin, yang bermakna empat Veda, empat tugas dan catur warna. Umumnya berjenggot dan mata terpejam di dalam meditasi. Beliau juga bertangan empat, masing-masing dengan bentuk pose yang berlainan, dan menggenggam Aksamala (tasbih), Kurca (kwas yang terbuat dari rumput kusa), Sruk (Sendok sayur), Sruva (sendok), Kamandalu (kendi air) dan Pustaka (kitab suci). Tasbih menyimbolkan sang waktu, tempat air bermakna air sorgawi, dari air ini timbullah seluruh penciptaan. Rumput kusa adalah seimbol seni lukis, sendok adalah instrumen untuk pengorbanan demi kelestarian sesama makhluk. Kitab menandakan ilmu pengetahuan duniawi dan akhirat. Beliau adalah pemberi ilmu pengetahuan, seni-budaya, sains dan kebijaksanaan. Bentuk mudra Sang Brahma disebut Abhaya (melindungi) dan varada (memperbaiki). Beliau sering digambarkan dalam posisi duduk dan berdiri, tunggangan beliau adalah seekor angsa bernama Hamsa. Kadang-kadang berwahana yang ditarik 7 ekor angsa yang menyiratkan 7 loka. Masih ada beberapa candi di India yang memuja beliau sebagai Viswakarma (sang arsitek jagat-raya ini). Lihat arcanya yang menkjubkan di Candi Prambanan. Setiap candi Shiwa atau Vishnu menyediakan sudut utara atau dinding utara untuk arca sang Brahma, dan arcanya ini harus dipuja setiap hari, karena beliau adalah inti dewata yang terpenting (Pariwara Dewata), yang bertugas utama Yang Maha Esa). Di Manawadharmasastra 10 terdapat sloka berikut ini :
“dari benih tercipta telur alam-semesta yang maha suci
terang-benderang laksana jutaan sinar. Dari telur ini
Ia menciptakan dirinya sendiri ke rupa Sang Brahma,
sang pencipta asal-muasal (ayah-ibu) jagat raya ini”
Dalam hubungannya sebagai kesatuan kelompok dinamakan “Tri Murti”, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa yang merupakan kelompok dewa yang mempunyai manifestasi antara lain Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pemralina.
Brahma di India digambarkan bervariasi yang memiliki satu, tiga atau empat kepala duduk / berdiri di atas teratai, tangan empat dan wahana angsa dengan muka berjanggut. Berdasarkan peninggalan seni pahat yang ada di Indonesia bahwa Brahma berkepala empat, berjanggut/tanpa janggut, berkumis/tanpa kumis bertangan empat dengan atribut yang dipegang yaitu : aksamuka, cemara, kuncup teratai dan kendi dengan sikap tangan abhayamudra atau dhynamudra dan kepala dihiasi dengan jatamakuta.
Pada jaman Bali modern terjadi suatu pembauran konsep seperti arca Brahma berkepala empat masing-masing kepala mengarah sesuai dengan mata angin seperti Caturkaya dengan badan empat, masing-masing badan juga diarahkan keempat penjuru mata angin. Karena orientasi arahnya sama maka arca-arca ini sama-sama sebagai Dewa Lokapala dengan atributnya cakra dan sangka sehingga diberi nama Brahma sesuai dengan Caturkaya.
Vishnu (Wisnu)
Dewa ini disebut Sang Pemelihara jagat-raya dan seluruh isinya. Beliau adalah dewa kedua di dalam konsep Trimurti yang bersifatkan Satvaguna, yang amat bertanggung jawab dengan kelestarian alam-semesta ini. Kata Vishnu itu berarti : “Yang telah memasuki atau mengisi semuanya. Sifat beliau dengan demikian adalah teramat gaib, namun beliau hadir dimana saja. (Baca Bhagavar-gita). Beliaulah inti jiwa yang bergerak dari dalam raga manusia, para dewa dan berbagai makhluk lainnya. Nama lain beliau adalah Narayana, yang dapat berarti :
(a) Yang telah merubah air sorgawi sebagai tempatnya bersemayam.
(b) Yang adalah tujuan semua manusia
(c) Yang telah menciptakan hati nurani manusia.
(d) Tujuan terakhir umat manusia.
Konon untuk (a) tersebut di atas, ada kisah yang menarik seperti berikut, setelah hancurnya salah satu yoga dimasa yang silam, maka sebelum terjadi proses penciptaan jagat-raya yang baru, Hyang Narayana ini jatuh tertidur diperaduannya yang berupa ular berkepala tujuh yang bernama Sesa atau Ananta. Ular ini senantiasa terapung disamudra Ksirasamudra (lautan susu). Salah satu kaki Hyang Narayana berada di pangkuan istrinya, Laksmi yang memijatnya dengan lembut. Di dalam mimpinya beliau membayangkan lahirnya dunia baru, dan dari pusarnya lahirlah sebuah bunga teratai dengan Hyang Brahma yang sedang duduk untuk menciptakan jajaran jagat-raya dan segala isinya. Samudra di sini menyiratkan air kehidupan sorgawi, atau sifat-sifat Prakriti (Maya). Air yang disebut Ksirasamudra ini juga terkenal dengan Amrita (nektar keabadian) yang berarti Karunia Yang Maha Esa. Jadi dapat disiratkan bahwasanya Sang Narayana senantiasa terapung di samudra karunia yang tanpa batas.
Ular sesa sering digambarkan berkepala seribu dan menunjang dunia ini dengan raganya. Kata Ananta berarti tidak ada habis-habisnya atau tak terbatas, yang berarti sang waktu kosmos ini tidak ada ujung dan tidak ada pangkalnya, namun menunjang seluruh ciptaan dari masa ke masa.
Kata Sesa juga berarti, yang tersisa pada saat terakhir, atau sisa dari pralaya (kiamat), dan didaur-ulang untuk penciptaan dunia yang baru, dari satu pralaya ke pralaya berikutnya. Ular kobra ini juga menyiratkan kama atau nafsu yang bekepanjangan yang selalu mengikat erat manusia dengan mohanya sampai tercapai moksha. Masa tidur atau istirahatnya berarti masa inkubasi untuk mencipta yang baru. Jadi mengapa manusia selalu harus takut pada kematian, padahal itu hanyalah fenomena pembaruan, yang logis, alami dan beralasan rasionil. Dari yang sudah terpolusi ke arah suci dan bersih.
Hyang Vishnu digambarkan sebagai Nilameghasyama, yang artinya berbadan biru atau ungu, ibarat warna antariksa yang dilihat dari bumi. Beliau disimbolkan dengan satu wajah dan empat lengan tangan yang masing-masing memegang Sankha (kerang laut sebagai alat tiup) cakra, gada, dan bunga padma (teratai). Beliau mengenakan kalungan bunga Kaustubha, yang tergantung cantik pada ikal rambutnya yang disebut Srivatsa. Di dada kirinya Beliau juga mengenakan kalungan bunga warna-warni penuh wewengian yang disebut Waijayanti. Keempat tangan berarti empat mata angin, di mana hadir kekuatan beliau. Sankha bermakna maha panca bhuta, cakra berarti pikiran kosmis, gada berarti budhi (intelek) kosmis, dan bunga teratai, lambang kesucian yang berasal dari kekotoran. Ikal rambut Srivasta menyiratkan berbagai objek-objek kenikmatan duniawi, mutiara Kaustubha adalah simbol penikmat Srivasta. jadi yang menikmati dan dinikmati adalah perhiasan bagiNya semata, demikian arti kedua hal ini. Kalungan bunga Waijayanti berarti elemen lembut yang hadir di alam-semesta ini (bhuta-tanmatras). Kadang-kadang ada dua buah senjata, yaitu Nandaka (pedang kebijaksanaan) dan Sarnga (anak panah) yang menyiratkan indriyas kosmis.
Pada hakekatnya kitab-kitab Weda kuno, Wisnu diidentikkan dengan Dewa Matahari yang berarti “Menembus dan aktif bekerja” sesuai dengan sifat matahari yang memancarkan dan menembus atmosfer kesegala penjuru.
Dewa Wisnu yang dikaitkan tiga posisi yaitu pagi, siang dan sore hari. Ada pula yang memanifestasikan dengan Dewa Surya, Wahyu/Indra, dan Agni. Wisnu juga dianggap sebagai Dewa Air dengan atribut yang dibawa berupa padma dan sangka yang menunjukkan Dewa Wisnu sebagai Dewa Air dengan benda tersebut berisi air, dengan kata lain yaitu Narayana yang berarti “tidur diatas air”, yang ada dalam kitab-kitab agama Hindu Narayanalah yang menciptakan Air.
Dalam Rigvida Dewa Wisnu dimanifestasikan sebagai Dewa Kesuburan yang terkait dengan Dewa pemelihara yang melangsungkan kehidupan di alam ini beserta isinya. Awatara Wisnu disebutkan berbagai macam-macam sebutan, ada yang menyebutkan sepuluh awatara, tujuh, enam belas, duapuluh dua, dua puluh empat dan bahkan ada yang menyebutkan tigapuluh sembilan awatara. Wisnu digambarkan berkepala satu, bertangan dua, empat, atau delapan dengan pegangan pedang, gada, panah, teratai, sangka, busur, cakra dan perisai. Dalam wujud lain Wisnu juga digambarkan berkepala empat dengan jumlah tangan ada dua belas, enam belas, dan dua puluh dengan atribut musala, pasa, angkusa, mudgara, sula, chauri, hala, parasu dan patra.
Dalam kitab Bhismaparwa, Wisnu bertangan empat dengan senjata cakra, mengenakan mahkota dan kelat bahu, begitu pula pada sumber lain Wisnu diidentikkan dengan berkepala seribu dengan tangan dua ribu, dengan wujud kroda bersenjatakan cakra, sudarsana, gada mandaki, twek nandaha, dan nancajanya serta memutar tiga buah cakra yang dinamakan Calakenda Tarenggabahu.
Shiwa
Shiwa adalah dewa ketiga di dalam Trimurti atau trinitas, beliau bertanggung jawab dalam melebur kembali dunia ini, bersifatkan Tamas, beliau ditugaskan Tuhan Yang Maha Esa untuk menghancurkan semua ciptaan yang sudah habis masa kerjanya, untuk didaur ulang kembali, sesuai karma masing-masing ke bentuk baru. Sabda para resi, Shiwa ini sebenarnya adalah Brahma dan Vishnu itu menjadi satu. Shiwa berasal dari Puranas dan Rudra dari Veda dan agamas. Ada pendapat lain, bahwa Shiwa berasal dari ajaran non Aryan dan usianya lebih tua dari Rudra, karena banyak lingga-yoni yang ditemukan di peradaban Mohanjo-Daro.
Pemujaan kepada Shiwa penuh dengan mantram dan ritual-ritual serta gaib dan misterius, disimbolkan sebagai Lingga, beliau selalu diwujudkan sebagai pria atletis yang amat tampan menawan berkulit kebiru-biruan dan harum ibarat kamfer. Tangan dan kakinya dibedaki dengan abu suci. Beliau bermata tiga, dan mata ketiganya yang jarang sekali terbuka ini terletak ditengah-tengah kedua alis-matanya, berlengan empat, masing-masing memegang Trisula, Damaru, (gendang kecil), sedang dua tangan yang lainnya bermudra abhaya (memberikan perlindungan) dan Varada (memberikan berkah). Dari gelungan rambutnya yang ibarat mahkota, terpancar dan mengalirlah sungai Gangga. bulan sabit adalah penghias rambutnya, dan berkilau memakai sarung pendek yang terbuat dari kulit harimau, kadang-kadang dari kulit gajah. Berbagai ular, khususnya ular kobra (lambang sperma) adalah kalungan yang menghiasi leher dan lengannya, diantaranya yang disebut Yajnopavita (benang suci). Beliau juga memakai kalungan yang terdiri dari tengkorak kepala.
Dewa Shiwa beristrikan Parwati (Uma), dengan dua orang putranya yaitu Ganeshya dan Kumara (Skanda dan Subramaniyam). Keduanya ini dilengkapi dengan berbagai tunggangan, seperti Nandini (sapi) milik dewa Shiwa sebenarnya, kemudian ada Bhrngi Resi dengan tiga kaki dan tiga tangan, ada juga tikus sang Ganeshya dan burung merak milik Kumara, di samping para kawula Dewa Shiwa dalam bentuk jin, setan, hantu, dedemit dan berbagai makhluk-makhluk yang aneh yang senantiasa mendampingi dewa Shiwa kemanapun beliau pergi.
Tempat tinggal sang dewa berada di puncak Himalaya, namun beliau juga gemar sekali berkelana ke berbagai kuburan dan tempat-tempat pembakaran mayat, melakukan inspeksi sesuai dengan pekerjaan beliau, namun beliau malahan dianggap sebagai menyeramkan. Di bawah ini ada beberapa kisah-kisah dalam keluarga Shiwa.
(1) Konon pada suatu waktu, Parwati, istri sang dewa ini bercanda dan memejamkan kedua matanya, dan akibatnya seluruh dunia menjadi gelap gulita. Terpaksa Dewa Shiwa menerangi dunia ini dengan mata ketiganya. Ada juga suatu peristiwa di mana mata ketiga ini terpaksa dipergunakan untuk membakar hangus dewa Kama, yang mengganggu semedi sang dewa.
(2) Suatu saat sungai Gangga sangat membanggakan dirinya yang mengalir dari kepala Dewa Shiwa, mengetahui hal tersebut langsung saja sungai ini dibendung oleh Dewa Shiwa, dan hanya diperkenankan mengalir kembali setelah mendapatkan puja permohonan dari Sang Bhagirata dan sungai gangga itu sendiri.
(3) Sewaktu samudra susu, Sivamudra diaduk, timbul dan muncullah berbagai objek (unsur) diantaranya bulan sabit yang langsung disabet oleh Dewa Shiwa dan dijadikan pengias kepalanya. Sewaktu yang keluar adalah racun ganas Halahala, iapun meminumnya tanpa banyak pikir, demi menyelamatkan umat manusia. Parwati yang khawatir racun tersebut akan membunuh dewa Shiwa, langsung mencekik leher sang dewa dan berhasil menahan racum tersebut dilehernya, hingga kini leher tersebut berwarna biru (Nilakanta).
(4) Para resi Darukawana gusar sekali sewaktu mereka sadar betapa tertariknya para istri mereka kepada Dewa Shiwa yang tampan ini. Mereka lalu berusaha untuk membunuhnya melalui sebuah agni hotra, dari agni hotra ini muncullah seekor harimau, seekor kijang dan sebuah besi panas membara. Dewa Shiwa membunuh sang harimau dan memakai kulitnya sebagai sarung, sang kijang menjadi peliharaannya, dan besi panas diubah menjadi salah satu senjata saktinya.
(5) Masih banyak kisah-kisah lainnya seperti penghancuran yagna Sang Daksa, memotong salah satu kepala Dewa Brahma karena berbicara tidak senonoh, Shiwa juga senantiasa menegur Dewa Vishnu, Yama dan dewa-dewi lainnya dengan caranya tersendiri.
Kembali ke personifikasi Shiwa, maka ketiga mata Dewa Shiwa menyimbolkan surya, rembulan dan api, tiga sumber cahaya, kehidupan dan panas. Mata ketiga adalah simbol ilmu pengetahuan dan sentuhan pribadi Tuhan Yang Maha Esa.
Surya dan chandra adalah kedua matanya, langit adalah gelungan rambutnya, itulah sebabnya beliau juga disebut Vyomakesha (yang berhiaskan langit dirambutnya).
Harimau adalah simbol nafsu yang tak terkendali, namun Dewa Shiwa mampu membunuhnya demikian juga dengan para pemuja-pemujanya yang penuh bakti senantiasa mengikuti perintahnya., kalungan tengkorak dan abu suci menyiratkan kematian, dari tanah kembali ke tanah.
Shiwa adalah dewanya yoga dan para yogi. Beliau sering terlihat dalam posisi semedi yang tenang dan damai, dengan sungai Gangga disampingnya sebagai simbol jnana. Bulan sabit juga bermakna siklus dari sang waktu yang berada di bawah kendalinya.
Berbagai ular yang mematikan dan beracun adalah simbol-simbol kematian berbagai makhluk yang sudah pasti kodratnya. Ular-ular ini juga menandakan berbagai energi yang hadir, seperti energi seksual dan kundalini dan berbagai energi lainnya, di samping itu ular kobra adalah simbol sperma pria dalam konsep Tantra-yoga (lingga-yoni). Semenjak masa teramat silam para resi sudah mampu melihat bentuk sperma pria yang mirip kepala kobra, dan berbagai lukisan Tantrik kuno ditambah skripsi-skripsi dan konsep lingga-yoni memperkuat teor ikehidupan Hindu Dharma. Semua itu sudah difahami jauh sebelum dunia barat menemukan alat-alat kaca pembesar medis.
Dengan kata lain Dewa Shiwa juga adalah dewa yang menguasai waktu dan energi vital di alam kosmis dan di dalam raga manusia dan berbagai makhluk, dan menjadi tujuan setiap Yogi untuk mencapainya. Tahap pencapaian ini disebut Thuriya.
Dalam bentuk arca, beliau sering diwujudkan bertangan dua, namun ada juga yang bertangan 32 dengan berbagai senjata dan hiasan seperti Trisula, Cakra, Parasu (kampak perang), Damaru (gendang kecil), Aksamala (tasbih), Mrga (kijang), Pasa (cambuk), Danda (tongkat komando), Pinaka atau Ajagawa (panah), Khatvanga (alat magis), Pasupata (tombak), Padma (teratai), Kapala (tempurung tengkorak kepala), Darpana (cermin), Khadga (pedang) dan lain sebagainya.
Trisula bisa berarti tiga gunas, bisa juga berarti Trinitas, dengan demikian Shiwa adalah simbol dari penguasaan ketiga unsur dewa-dewa tersebut.
Konon pada suatu waktu nan silam, dewa Shiwa sedang menari tarian Tandavanrtya, sambil memainkan damarunya, dan muncullah nada seperti : a, i, un, r, lr, k dan lainnya yang berjumlah 14 basis suara yang dewasa ini disebut juga sebagai Mahesvarasutra, yang merupakan basis alfabet dan tata suara serta tata-bahasa di India, yang kemudian berdampak ke Timur-tengah, Asia secara keseluruhan dan ke Eropah. Damaru dengan demikian adalah simbol tatanan bahasa, seni, tari, musik, budaya dan lain sebagainya, dengan Shiwa sebagai maha gurunya, itulah sebebnya beliau disebut sebagai Batara Guru.
Tasbih Aksamala bermakna bahwasanya beliau adalah guru dari ilmu spiritual, sedangkan Khatvanga menandakan bahwasanya beliau adalah guru dari berbagai ilmu yang bernuansa magis. Kepala, tempurung tengkorak kepala, menandakan kedashyatannya sebagai dewa penghancur. Sedangkan cermin Darpana adalah refleksi dari bentuk kosmisnya. Di India arca Shiva tidak dipuja sebagai Mula-Murti, namun sebagai Utsawamurti, berarti secara besar-besaran pada festival tertenu saja, selain itu harus tenang dan shanti.
Shiwa-Lingga, adalah simbol dari Sang Mahadewa yang serba hadir dan tahu, selamanya suci bersih. Lingga berarti sama dengan Shiwa, yaitu tempat peristirahatan semua makhluk. Shiwa-lingga itu dianggap sebagai wujud simbol Tuhan itu sendiri dari sudut pandangan Tantrik. Shiwalingga telah hadir semenjak masa silam di berbagai peradaban batu, sebagai pemujaan megalith. Semua suku aborigin di dunia ini memuja Shiwa-lingga dengan nama dan versinya masing-masing, dan bentuknya berundak. bentuknya selalu phallus (menonjol panjang, kemaluan pria) dan vagina (yoni, kemaluan wanita), lingkaran simbol pemujaan kuno kepada Sang Pencipta alam dalam wujud ayah dan ibu. Lingga-yoni sudah hadir mengesankan di peradaban kuno Hindhu di lembah Harrapa dan Mohanjo-daro.
Ada arca Shiwalingga yang disebut Cala (dapat dipindah-pindah) dan acala (yang tidak dapat berpindah tempat). Yang pertama dapat dipindah dan dipuja baik di rumah maupun di mana saja, sedangkan acala seharusnya di kuil dan di mandir, terbuat dari batu dan terdiri dari tiga bagian. Bagian bawah yang berbentuk segi empat yang disebut Brahma-bhaga (melambangkan Brahma sebagai sang pencipta), bagian tengah yang berbentuk oktagonal disebut Vishnu-bhaga dan kedua bagian ini kemudian digabung menjadi satu di dalam bentuk pedestal. Bagian atas disebut Rudra-bhaga, juga disebut sebagai pujabhaga karena bagian ini diperuntukkan sebagai pemujaan. Ada tiga garis melintang di tengah lingga ini yang disebut Brahmasutra, atau “mata ketiga”.
Tanpa Brahmasutra maka Linggayoni ini tidak dapat dipuja. Ternyata saudara-saudara kita kaum Muslimin, konon oleh salah seorang Nabinya yang besar yaitu Nabi Ibrahim sekaligus nabinya kaum Nasrani dan Yahudi (judaisme), telah dibuatkan simbol lingga-yoni terbesar di dunia yaitu yang disebut Ka’bah dan mesjid Haram yang mengelilingi sebagai yoninya. Kaum Hindu sangat respek terhadap monumen suci yang satu ini, Guru Nanak bahkan telah mengunjunginya secara khusus. Dari sudut pandang para resi aliran Shiwais, saudara-saudara kita kaum muslimin adalah : pengikut “ajaran Shiwa” dan konon menurut Nabi Besar Mohammad S.a.w., mesjid yang satu ini haram dibangun di tempat lain selain yang sudah ada di Mekah tersebut. Juga simbol bulan sabit, trisula, dan lain-lainnya diperkirakan berasal dari ajaran Shiwa yang pernah menyebar ke Timur-Tengah (pemujaan sapi), dari masa ke masa, baik melalui sungai Saraswati maupun melalui Afghanistan dan seterusnya semenjak ribuan tahun yang lalu.
Siwa merupakan agen langsung dalam atas kelahiran, kehidupan, dan kematian yang sering disebut dengan Mahesamurti, juga sebagai mahakuasa dengan sebutan Ekadasa Rudra, dengan sebelas tokoh Dewa dengan nama-nama yang bervariasi pada naskah-naskah India. Dalam Amsumbhedagama disebutkan antara lain Mahadewa, Siwa, Sangkara, Nilalohita, Isana, Vijaya, Bhima, Dewa-dewa, Bhavodbhava, Rudra dan Kapalisa, sedangkan dalam Visvakarmasilpa dan Rupamandana disebutkan sebagai Aja, Ekapada, Ahirbudhya, Virupaksha, Revata, Hara, Bahurupa, Tryambaka, Suresvara, Jayanta dan Aparajita. Pada Ekadasa Rudra disebutkan dengan sebutan Siwa, Sada Siwa, Prama Siwa, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sankara, Wisnu, dan Sambhu. Ekadasa Rudra tersebut merupakan penjaga prajuru mata angin, di Bali dikenal dengan sebutan “Dikpalaka”.
Sedangkan naskah di Indonesia disebutkan dengan Caturbhuja (bertangan empat), dan Trinayana (bermata tiga), ia juga disebutkan Triwikrama atau Krurabhairawa dengan tubuh besar, berkepala lima, muka menakutkan, rambut kusut, mata seperti matahari/bulan, lubang hidung lebar, dan taring tajam. Tapi pada wujud kenyataan di Indonesa belum pernah dijumpai Siwa berkepala lima, umumnya berkepala satu dengan mahkota dihiasi ardhacandra kapala, mata tiga di dahi, uvapita ular naga, bertangan empat membawa cemara, aksamala, kamandalu, dan trisula dalam sikap duduk / berdiri (padmasana/sukhasana).
Pada Bali modern ini, seniman/pematung melukiskan Siwa membawa sabit dengan mitos/alasan suatu ketika Siwa menguji Dewi Uma dimana Siwa pura-pura sakit, pada saat itu pulalah istrinya Dewi Uma disuruh mencari obat yaitu air susu lembu. Karena perintah dari suaminya yaitu Siwa, sehingga dewi Uma turun kedunia untuk mendapat si pengembala lembu, dan Dewi Uma bertemu dengan si pengembala lembu, yang tak lain adalah Siwa menjelma menjadi pengembala, ia minta syarat bahwa Dewi Uma harus bersedia melayani nafsu birahinya jika ingin mendapatkan air susu lembu. Demi kesembuhan Siwa Dewi Uma sanggup meladeninya. Di ketahui oleh Siwa berbuat curang, maka Dewi Uma dikutuk menjadi Dewi Durga. Mitos inilah sebagai landasan atau model oleh seniman/pemahat, sehingga muncul Siwa membawa sabit yang diasosiasikan dengan pengembala lembu, dengan atribut kalasa/cepupu yaitu sejenis tempat air dengan dihiasi sedemikian rupa sehingga kelihatan bersayap.
Saraswati
Saraswati adalah shakti Sang Hyang Brahma, semenjak zaman permulaan beliau sudah dianggap bundanya alam semesta dan segala penciptaan ini, karena beliaulah yang mendapatkan tugas khusus dari dari Sang Pencipta Brahma untuk mencipta dan merancang semua ciptaan ini. Arti kata Saraswati adalah “yang mengalir”; di Rig-Veda, beliau digambarkan sebagai sebuah sungai yang senantiasa mengalir, beliau memberkahi kesuburan setiap kandungan wanita dan juga kesucian bagi semua pemuja-pemujanya. Ada beberapa sebutan lainnya untuk beliau ini seperti : Sarada (pemberi arti), Vagiswari (guru tutur-bahasa), Brahmi (istri sang Brahma), Mahavidua (ilmu yang maha tinggi), dan lain sebagainya. Beliau adalah personifikasi dari semua bentuk ilmu…… seni, budaya, literatur, sains, dan berbagai keterampilan seperti seni ukir, pahat, patung dan lain-laian nya. Setiap seniman di India berwarna brahmana karena berada di bawah naungan Saraswati! Beliau berkulit putih karena dasar ilmu pengetahuan, beliau adalah putih, suci dan bersih. Kebodohan atau kekurang-pengetahuan (avidya) berwarna hitam karena diliputi oleh kegelapan. Beliau dilambangkan duduk di atas bunga teratai, dengan berwahanakan seekor angsa dengan keempat tangannya, masing-masing beliau memegang Vina (suling), Akshamala (tasbih), Pustaka (kitab buku). Tangan yang satunya bermain Vina dan bermudra memberkahi. Sering juga beliau dilukiskan dengan Pasa (kwas), Ankusa (alat penyuntik, bunga Padma (teratai), Trisula, Sankha (alat tiup yang terbuat dari lokan raksasa), cakra, kecapi, dan sebagainya. Kadang-kadang beliau berwajah lima dan bertangan delapan, juga bermata tiga, berleher biru; dalam aspek ini beliau disebut sebagai Mahasaraswati yang penuh dengan unsur inti Durga (Parwati). Tunggangan beliau, sang angsa bernama Hamsa, seperti tunggangan Dewa Brahma. Sering sekali seekor burung merak menjadi wahana beliau selain angsa tersebut.
Makna kitab yang dipegang oleh Dewi Saraswati ini adalah bentuk ilmu sain secara sekular; Vina melambangkan seni budaya dan suara AUM, tasbih di tangan kanan bermakna : ilmu pengatahuan spiritual itu lebih berarti dari berbagai ilmu sains yang sekular (ditangan kiri). Bagaimanapun juga kitab-kitab dan ajaran berbagai ilmu pengetahuan sangatlah penting, namun tanpa penghayatan dan bakti, maka semua ajaran ini akan mubazir dan bermakna sia-sia.
Warna merah dan cantik jelita adalah simbol kebodohan dan kemewahan duniawi yang sangat memukau namun menyesatkan (avidya), sedangkan angsa dapat menyaring air dan memisahkan kekotoran dengan paruhnya (simbol vidya). Walupun sesungguhnya vidya atau Paravidya (iluminasi spiritual) dapat mengarahkan kita ke moksha, namun avidya yang juga adalah simbol ilmu pengetahuan sekular jangan diabaikan dulu. Seperti yang diutarakan oleh Isavasya-Upanishad, “kita melampui kelaparan dan dahaga melalui avidya, kemudian baru melalui vidya meniti dan wahana (alat, perangkat penyampaian pesan-pesannya). Kalau disimak dengan nurani yang sadar maka semua fenomena dewa-dewi ini dan berbagai fenomena mereka adalah ajaran adi-luhung yang amat menakjubkan dan indah sekali, sekaligus menggambarkan betapa luas aspek Tuhan Yang Maha Kuasa dengan segala karya-karyaNya.
Saraswati dikatakan putri Brahma, ia dianggap kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dalam sruti dan stava Saraswati digambarkan membawa pustaka dan hurup pada masing-masing kedua tangan kirinya, sangka dan bendera pada kedua tangan kanannya, serta pakaian/hiasan yang bergemelapan, begitu pula Saraswati digambarkan membawa teratai, rudraksa, vina, seruling, kamandalu, sudanda, ansuka dengan wahana angsa/merak. Pada jaman Indonesia Hindu, baik Jawa maupun di Bali jarang dijumpai arca Saraswati, sedangkan pada jaman modern ini, jumlah arca Saraswati relatif banyak yang diwujudkan sebagai wanita cantik dengan bentuk tubuh yang gemulai, bertangan empat, dua yang didepan memainkan gitar, sedangkan dua dibelakang masing-masing memegang pustaka dan aksamala, Wahananya angsa/merak, lebih unik lagi dimana angsa/merak diletakkan di bawah kanan/kiri Saraswati dan pada lapiknya dihiasi daun-dauan teratai beserta bunganya.
Durga
Durga adalah dewa yang paling di puja di India dan berbagai pelosok dunia pada saat ini, beliau terkenal dengan nama-nama Dewi, Dewi Ma, Dewi Mata, Durga Ma dan lain sebagainya. Seluruh Purana dan Dewi Bhavatham didedikasikan kepadanya, demikian juga halnya dengan karya shahstra suci yang disebut Dewi Mahatmyam. Dewi Durga disebut juga sebagai Dewi Durga Saptasati atau Candi, dan hadir secara penuh hormat di dalam karya suci yang disebut Markandeya Purana, kitab ini dianggap sangat sakral dan setiap sloka dianggap sebagai sebuah mantram, setiap mantram ini mampu menghasilkan pengharapan, hasrat dan permohonan kita.
Durga juga bisa berarti “sulit untuk didekati”, karena beliau adalah personifikasi berbagai kesaktian dan gabungan kekuatan para dewa-dewi, namun sebagai bunda jagat-raya beliau adalah ibu yang penuh kasih sayang yang tidak terhingga. India dan Indoesia penuh dengan berbagai candi demi pemujaan yang pernah jaya-raya (di Indonesia), namun pada saat ini konsep yang terkembang di Indonesia adalah konsep salah-kaprah, Dewi Durga dianggap dewinya setan dedemit, semua ini adalah propaganda agama lain yang pernah mengalahkan kerajaan-kerajaan Hindu di masa oknum-oknum lalu, dengan menjelek-jelekkan peranan Dewi Durga yang sesungguhnya, padahal candi Prambanan dan Candi Sewu terang-terang didedikasikan kepada kebesaran Sang Pertiwi, Maheswari ini. Demikian juga konsep Ratu Kidul, laut selatan, adalah personifikasi Dewi Sri (berbaju hijau dan ungu, lambang Vishnu) yang sengaja diselewengkan oleh oknum-oknum agama lain dimasa lalu, ternyata kaum Hindu sendiri banyak terkecoh dan termakan oleh isu-isu itu.
Batari Durga adalah penakluk para asura dan sekaligus bunda utama jagat-raya ini, beliau adalah insti-sari Gayatri itu sendiri. Dengan hilangnya pemujaan kepada Durga di Indonesia, maka pemujaan kepada Ganeshya pun sirna, dan perihal ini merupakan kehilangan besar bagi Hindu Jawa yang pada saat artikel ini berada dalam posisi kebimbangan, mau memuja secara Hindu Bali atau Hindu Jawa, mau berorientasi ke India, rasanya peninggalan leluhur demikian agung tetapi tidak berjejak. Sebenarnya Hindu Jawa mungkin harus kembali ke filosofi agung Bhagavat-Gita, melalui pemujaan Vishnu, Shiwa, Durga dan Ganeshya, disertai Buddha, dengan demikian kembali ke ajaran leluhur yaitu gabungan Vaisnawa-Shiva-Buddha, ke Yang Maha Tunggal, Yang Maha Esa, yang sudah tersirat oleh Pancasila, yang dicetuskan oleh Bung Karno dianggap titisan Raja Brajawijaya oleh Hindu-Jawa, dianggap titisan Prabu Siliwangi oleh penganut beliau di Jawa Barat dan dianggap wali kesebelas untuk Hindu dan Islam oleh pengamat alairan kepercayaan.
Hindu Jawa seharusnya menuntut kembali hak-hak pemujaan dan pemeliharaan atas warisan candi-candi kita di Jawa, demikian juga dengan golongan Hindu lainnya yang terbesar di berbagai kepulauan di Indonesia, walaupun kita minoritas namun tanpa peninggalan agama, candi dan tata budaya nenek moyang kita, maka Indonesia bukan apa-apa, jadi hak pengelolaan candi-candi harus kita lestarikan, KTP (Kartu Tanda Penduduk) harus bersifat universal seperti bangsa-bangsa lain yang beradab, yaitu tidak mencantumkan golongan-agama, dengan demikian sesuai dengan piagam hak-hak azasi manusia yang sudah diratifikasi oleh pemerintah kita.
Kembali ke Dewi Durga, ada konsep lain mengenai sang Dewi yang mulia ini, yaitau konsep Dewi Yoganindra (Meditasi-tidur) adalah yang terutama. Tidur diibaratkan dengan masa istirahatnya Sri Vishnu diantara dua mas apenciptaan, semacam revitalisasi (recharger) jiwa-raga kita sehari-hari setelah letih bekerja. Itulah sebabnya sehari-hari dewi ini mendapatkan tugas untuk melestarikan kehidupan kita secara sempurna dari masa tidur ke masa sadar. Kemudian mempersiapkan pralaya (kiamat) dan membangunnya kembali. Beliau diwujudkan dalam gambaran yang misterius namun memancarkan simbol-simbol kebijaksanaan, ilmu-pengetahuan dan memori (daya-ingat). Beliau berwajah cantik mempesona, pada saat yang sama terkesan “ganas”. Hanya beliau yang sanggup menguasai kedua sifat ini, beliau bersenjatakan busur, panah, pedang, cakra dan trisula.
Kemudian ada aspek Dewi Durga lainnya yang disebut Mahisasuramardini; konon suatu saat kekejaman asura yang bernama Mahisasura sampai ke puncaknya, maka Sang Trimurti (Brahma-Vishnu-Shiwa) pun bereaksi keras. Dari kemarahan mereka lahirlah sang dewi ini, disusul oleh kemarahan semua dewi-dewi lainnya. Berbagai kesaktian dari dewa-dewa utama membentuk organ-organ utama dewi ini, berbagai kesaktian dewa-dewi minor dan madya membentuk organ-organ tubuh lainnya, jadi seluruh buana agung bereaksi membentuk yang satu ini. Dilengkapi dengan berbagai senjata dan keskatian para dewa-dewi ini, maka sambil duduk di atas seekor singa yang galak, beliau sanggup mengalahkan Mahisasura. Biasanya kisah dewi ini dilanjuti dengan berbagai mantram-mantram suci yang indah dan puitis, (Seluruh upacara-upacara untuk dewi ini masih diselenggarakan di India sampai kini dan dapat diakses di web-site …..www.india.com….. atau melalui satelit digital (decorder dan parabola) yang diarahkan ke India, khususnya kea rah chanel-chanel TV di India Selatan seperti Tamil-Nadu, Kerela dan sebagainya. Film-Film Hindhu dharma bahkan sudah ditayangkan secara regular di Bali TV, melalui digital decorder, yang bisa diterima lewat frekuensi; tranfordr : 6 H, center frekuensi RF:3926 MHz, L-Band : 1224 MHz, Symbol Rate : 4.208 MSPS, FEC =3/^/)
Pada suatu saat yang lainnya, para dewa dikuasasi oleh dua Asura yang bernama Sumbha dan Nisumbha. Para dewa yang kalah dan ketakutan berhamburan ke Himalaya memohon bantuan sang dewi lagi, beliau dipuja dengan doa-doa yang disebut “Aparajitastotra”, puji-puji mulia bagi dewi yang agung ini, penakluk yang tak terkalahkan. Beliau, kemudian mengabulkan permohonan para dewa ini, dan muncul dari raga Sang Parwati dalam wujud Kausiki Durga, kemudian berubah menjadi Kali. Ternyata kecantikan sang dewi mempesona kedua asura tersebut dan mereka berdua meminangnya untuk dijadikan istri mereka masing-masing. Beliau setuju asal suaminya harus berupa asura yang paling sakti digjaya diantara para asura, akibatnya banyak kepala asura yang menggelinding karena saling bunuh untuk mendapatkan sang dewi. Sang Kali kemudian memenggal kepala asura yang bernama Canda dan Munda, beliau kemudian disebut juga sebagai Camunda. Kali kemudian menjilat darah asura Raktabija sehingga habis total, dengan lidahnya yang panjang dan akhirnya saru per satu asuras ini dapat ditumpas termasuk Nisumbha dan Sumbha.
Kemenangan ini dirayakan para dewa-dewi dengan puji-puji yang disebut Narayanistuti, puja khusus bagi bunda suci nan mulia ini. Beliaulah bentuk fisik alam-semesta ini, beliaulah kesaktian penuh misteri Sang Vishnu (Vaisnawi-Shakti), penghancur apa saja yang bersifat asurik. Dengan memuja Batarai Durga dalam wujud yang sebenarnya sebagaimanifestasi Tuhan Yang Maha Esa, maka pemuja tersebut akan mendapatkan emansipasi spiritual. Selain hal tersebut berbagai ilmu pengetahuan sains dan spiritual juga hadir dari sang dewi ini, beliau juga adalah daya intelek (budhi) dalam diri manusia beserta unsur-unsur kebajikan. Beliau senantiasa melindungi anak-anaknya secara sama rata tanpa henti-hentinya. Demikianlah berbagai aspek dan wujud Sang Dewi dalam bentuk, Kali Sapta-markas, kalau sedang berbahagia beliau memberi tak terhingga, kalau arah beliau menumpas sampai tuntas. Beliau dipercaya sebagai unsur kebenaran sejati yang hadir tersirat di dalam berbagai karya-karya shahstra suci.
Ada juga wujud-wujud lainnya dari Dewi Durga ini yang sesuai dengan daerah dan latar belakang pemujaannya seperti Vibdhawasini (asal daerah Vindhyas), kemudian Raktadanta (yang bergigi merah), Sataksi (yang bermata seratus), Sakambhari (pemeliharan tumbuh-tumbuhan dan sayur-mayur), Durgama (pembasmi asura Bhima, bukan Bimanya Pandawa), juga disebut Bhramari atau Bramaramba (berbentuk lebah).
Sang dewi memiliki tiga aspek utama, yaitu Mahakali, Mahalaksmi dan Mahasaraswati, namun jangan samakan berbagai aspek ini dengan yang ada di dalam Purana seperti Parwati, Laksmi dan Saraswati, karena sesungguhnya beliau adalah manifestasi dari Maheswari yang maha sakti, berdasarkan tiga bentuk gunas (tamas, rajas dan satvas). Aspek pertama adalah Mahakali, dengan sepuluh kepala dan sepuluh kaki, berkulit biru tua, ibarat mutiara Bilamani; beliau dihiasi dengan berbagai ornament dan bersenjatakan berbagai senjata seperti pedang, cakra, gada, anak panah, busur, pentungan, cambuk (cemeti), tempurung kepala manusia (asura dan kerang peniup. Dalam aspek Tamasiknya beliau adalah Yoganidra yang sanggup membuat Batara Vishnu tertidur, dan itu dapat berlaku juga di dalam diri kita. Kemudian datanglah Sang Brahma yang memohon agar Sang Vishnu dibangunakan dari tidurnya agar dapat mengalahkan asura-asura yang bernama Madhu dan Kaitabha.
Beliau juga adalah aspek Prakriti yang dikenal dengan nama Sang Maya, kesaktian dan kekuatan ilusif sang Vishnu. Tanpa kehendak beliau maka unsur-unsur Tamasik seseorang tidak akan hilang dan Sang Atman dalam diri kita akan terjaga dari ilusinya, inilah intisari pemujaan Sang Dewi Durga, berdasarkan legenda mengenai peperangan antara Dewa Brahma versus Madhu dan Kitabha. Pada hakikatnya tanpa kesadaran duniawi, tanpa dunia ini, tanpa Sang Maya atau Dewi Durga ini, kita tidak mungkin sampai ke Tujuan Agung, yaitu Tuhan Yang Maha Gaib yang tak mungkin mampu dijabarkan dan diwujudkan oleh siapapun juga termasuk para dewa ataupun malaikat. Dunia inilah jalan untuk mencapai tujuan ini, bukan sebaliknya!
Aspek kedua beliau adalah Mahalaksmi yang berunsur Rajasik dan sang dewi digambarkan berwarna merah seperti koral, bertangan delapan belas, masing-masing memegang tasbih, kampak perangm anak-panah, halilintar, bunga teratai, busur, pot (guci) air, cemeti, gada, pedang, tameng, kerang peniup, genta, cangkir arak, trisula, dan Sudarsana cakra, serta dua senjata lainnya. Lahir dari berbagai kekuatan para dewa maka ia berwarna merah (lambang kemarahan para dewa), warna darah, warna peperangan. beliau inilah yang menewaskan asura Mahisasura, asura yang berbentuk kerbau jantan. Berarti arca yang ada di Prambanan kemungkinan adalah wujud ini, karena digambarkan menginjak lembu jantan (sapi jantan) yang menyiratjan hukum rimba yang kadangkala memang bisa benar. Asura ini sedemikian saktinya sehingga bahkan para dewa tidak sanggup mengalahkannya, karena pada saat tersebut para dewa tidak menggalang persatuan, maka sewaktu mereka berhasil mempersatukan diri mereka maka lahirlah Sang Dewi ini yang juga disebut sebagai Mahisasumardini ini (penakluk Mahisa). Tersirat bahwasanya, untuk melawan berbagai rintangan dan unsur-unsur iblis di dalam diri kita, maka terlebih dulu seluruh indriyas kita harus disatukan dulu, baru melangkah maju. Ini juga berlaku untuk melawan unsur-unsur lainnya, yaitu periksa dulu, apakah seluruh persiapan dan sarana sudah tergalang penuh baru melawan adharma.
Aspek ketiga adalah Dewi Mahasaraswati, yang berunsur Satvik, beliau bersinar ibarat rembulan dimusim gugur, bertangan delapan, masing-masing memegang genta, trisula, bajak, lakon atau kerang tiup, cakra, anak panah dan busur, dan sebagainya. Karena tercipta dari raganya Sang Parwati beliau juga disebut dengan nama Kausiki Durga. Beliau menyiratkan raga yang sempurna, kecantikan tiada tara, kekuatan kerja, disiplin dan ketrampilan berorganisasi. Beliau adalah penghalau dan penumpas berbagaijenis asuras seperti yang disebut-sebut di atas yaitu, Dhumralocana, Canda, Mundu, Raktabija, Nisumbha dan Sumbha. Semua ini adalah bentuk-bentuk ego yang ada di dalam diri manusia.
Berbagai aspek Durga di Puranas dan Agamas adalah : Sailaputri, Kusmanda, Katyayani, Kesemankari, Harasidhih, Vanadurga, Vindhyvasini, Jayadurga, dan lain sebagainya.
Kata Kali berasal dari kata Kala, sang waktu. beliau adalah inti kekuatan yang terkandung di dalam sang waktu ini, yang dapat menghancurkan apa saja yang tidak abadi termasuk seluruh jajaran dewa-dewi di suatu saat yang tepat. Jadi dewa-dewi tidak bersifat abadi, beliau-beliau adalah petugas-petugas Yang Maha Esa senantiasa akan abadi.
Kali biasanya digambarkan dengan latar belakang perkuburan atau medan perang penuh mayat dan darah, dengan dewa Shiwa, sang suami sendiri yang “mati” terinjak olehnya. Beliau dilukiskan tidak berbusana namun bagian pinggangnya dilingkari oleh jajaran tangan-tangan, sambil mengenakan kalungan tempurung tengkorak kepala yang berjumlah 50 buah, dengan rambut yang kocar-kacir, bermata tiga dan brtangan empat. Salah satu tangan memegang kepala seorang asura yang baru ditebasnya, dan tangan yang lainnya memegang pedang perangnya. Kedua tangannya bermudra dalam bentuk Abhaya dan Varada, wajahnya merah dan lidahnya menjulur keluar panjang sekali. Gambaran ini menyiratkan kehancuran unsur-unsur asura, baik secara universal (buana agung) maupun secara buana alit di dalam raga kita.
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan seluruh jagat-raya dan isinya, lalu beliau memasuki setiap ciptaan Beliau (baca Taittiriyopanishad dan Upanishad lainnya), jadi alam semesta dan isinya bersifat suci; sewaktu alam dan isinya di rusak atau dinodai, maka kesucian yang hadir itu akan “sirna”, itulah yang tersirat dala makna Sang Kali, yang telanjang bulat tanpa busana, nama lain beliau adalah Digambara (terbungkus oleh antariksa), yang tak terukur batas-batasnya. Beliau berwarna gelap dan pekat karena harus melahap kekotoran tanpa henti-hentinya, (tamas produk kita semua). Warna gelap juga bermakna waktu, ruang hampa (antarisa) dan hukum karma, itulah sebabnya beliau digambarkan berwarna biru pekat, Kalungan tangan-tangan yang melingkari pinggang beliau adalah berbagai bentuk bakti yang dipersembahkan kepada beliau dan berbagai pahala-pahalanya, yang akan diingat dan dibalas olehnya sesuai sang waktu yang tepat. Tangan-tangan ini juga bermakna energi kinetik yang sangat potensial, yang dapat bermanifestasi setiap saat. Rambut yang kocar-kacir menandakan kebebasan sang waktu yang terurai tanpa batas. Kemudian kelima puluh tengkorak yang menjadi kalungan leher beliau, melambangkan lima puluh alfabet Sansekerta, serta bentuk-bentuk swara (sabda), secara umumnya berlaku di masyarakat Hindhu Dharma dan hadir di alam semesta ini. Pada saat pralaya beliau akan menerima semua ini sebagai persembahan dalam bentuk kalungan bunga (suatu bentuk kehormatan yang besar sekali, atas jasa-jasa sang waktu ini). Walaupun sang “pelumat” ini berwujud sangat menyeramkan dan menakutkan, namun kalau diperhatikan maka mudra-mudranya adalah simbol kasih saying seorang ibu sejati yang seakan-akan bersabda “jangan takut dan jangan khawatir, aku adalah ibumu yang tersayang”. Melalui Varada Mudra, setiap bakta yang tulus memujanya dan akan diberkahi oleh beliau pada saat yang tepat. Kata bunda atau ibu dalam bahasa d India selatan disebut “mariaman”. Beliau dipuja sebagai Mariaman yang suci dan mulai. Di Timur Tengah kata ini disingkat oleh orang-orang Judea dan Kristiani menjadi Miriam, dan oleh orang-orang Arab menjadi Mariam. Kata “ma” dalam Fatimah, jelas berasal dari pengaruh Mariaman yang sudah diadaptasi ke bahasa setempat dan juga berarti ibu atau bunda. Di India dan di dunia Barat kata atau nada mah, ma adalah panggilan untuk ibu, yang kemudian di dunia barat menjadi mother (baca mather), kemudian mama dan mami, dan lain sebagainya. Di Indonesia menjadi mak. Kata bapak berarti ayah yang mulia, ditujukan khusus untuk panggilan ke dewa-dewa utama seperti Ganeshya dan Trimurti, contoh : Bapa Ganapati dan Ganapati Bapa.
Konon setelah mengalahkan mengalahkan berbagai asuras, sang dewipun menari-nari secara menakutkan, karena kegirangan. Seisi jagat-raya ketakutan menyaksikan fenomena ini. Sang Shiwa kemudian secara pribadi memohonnya untuk berhenti menari karena dunia sudah tidak mampu lagi menyaksikannya, namun tidak diacuhkan oleh Kali, lalu Shiwa menyamar menjadi salah satu mayat yang terhampar dilokasi tari tersebut agar terinjak oleh Sang Kali (lambang toleransi seorang suami kepada istri yang lupa daratan). Pada saat terinjak itulah barulah sang dewi sadar akan kebablasannya (over-acting, mabuk kepayang), dan beliaupun menjulurkan lidahnya karena malu (adat atau reaksi wanita-wanita setempat, kalau malu, maka akan menjulurkan lidahnya).
Shiwa Mahadewa adalah wujud manifestasi dari Sang Brahman, Yang Maha Absolut yang jauh dari segala wujud, atribut dan bentuk aktifitas, ini disimbolkan sebagai sawa (mayat), Kali adalah energinya yang menari-nari, yang bekerja secara aktif. Inilah makna lukisan yang menyeramkan dari Sri Kali yang menginjak Dewa Shiwa, suaminya sendiri dari mana ia berasal. Seorang suami di dalam Hindhu Dharma sewaktu menikah akan diperingatkan oleh sang pendeta bahwa istrinya bisa bersikap sangat aneh dan destruktif pada saat-saat tertentu, demikian juga dengan sang suami, kalau kedua pasangan pengantin mau menerima fenomena ini, maka pernikahan (vivah) yang berarti kemenangan sanga dharma akan dilangsungkan dengan melingkari Sang Agni tiga kali, kalau tidak setuju maka vivah tersebut tidak akan dilanjutkan, saksinya semua tamu yang hadir. Dan semenjak itu tidak ada dan tidak dikenal perceraian karena apa yang sudah disatukan oleh Hyang Maha Esa (Swami dan Shaktinya) tidak boleh diceraikan atau dipisahkan baik oleh ego, ahankara dan gunas yang menyertai pernikahan tersebut. Upacara ini ternyata hadir secara mirip di kalangan saudara-saudara kita umat Katholik. Tidak mengherankan karena Yesus Kristus adalah figure yogi agung yang kita akui keberadaannya beserta seluruh aktifitas avatara dan yagnanya yang bermakna simbolis, yaitu salib (Swastika). Titik diantara dua palang kayu adalah titik mata ketiga, pusat meditasi kita yaitu di mana Shiwa akan hadir dalam bentuk taraf meditasi yang paling tinggi yang disebut tahap Thuriya (tahap sang Shiwa) yang tidak mudah dijabarkan, dan tahap itu baru mampu dicapai seseorang dengan pengorbanan diri seperti yang diperlihatkan oleh Kristus yang penuh dengan disiplin dan pengorbanan tanpa pamrih. Sayang saudara-saudara kita ini sebagian besar sudah lupa akan faham ini, walaupun mereka juga memiliki Mariam (Maria, sang ibu dan Roh Kudus (Atman) dan Kristus, Sang Pembimbing domba-domba bodoh yang tersesat.
Kembali ke visualisasi lukisan Kali dan Shiwa, maka kekuatan Kali pada akhirnya akan menciptakan penciptaan baru, itulah sebabnya beliau di puja dalam wujud Maharatri, yang senantiasa mendorong Shiwa untuk menciptakan jagat-raya yang agung ini setelah mengahncurkan yang lama. Shiwaratri adalah wujud pemujaannya yang sarat sekali secara simbolis, namun sayang sebagian besar umat Hindhu Dharma lebih senang tidak tidur semalaman dan bersuka-ria, tanpa mau mengintrospeksi dirinya dengan kisah hikayat suci sarat makna ini. Sang Kali adalah alat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang sulit dijabarkan secara terperinci, karena demikian gaibnya cara dan mekanisme Sang Maya (Kekuatan Ilahi) ini. Sri Krishna mengisyaratkan dalam bahasa misterius dalam Bhgavat-Gita, bahwasanya Beliaulah sesungguhnya Sang Kala yang melebur semua ciptaan ini.
Dari segi mitos kelahiran Durga sebagai tokoh penting, yaitu kristalisasi dari semua dewa, yang menempati posisi sentral yang dikelilingi empat bangunan yang ditujukan pada Sangkara, Brahma, Surya, Wisnu. Mitosnya di mana Brahma hadir di hadapan Siwa dan Wisnu yang menyampaikan para dewa diganggu oleh Mahesasura, mendengar laporan seperti itu, Siwa dan Wisnu marah, sehingga mengeluarkan cahaya panas dari mukanya, di samping itu pula dewa-dewa lainpun ikut marah dan memancarkan cahaya panas, dan akhirnya cahaya tersebut menjadi satu yang menyerupai gunung yang bergemerlapan dan akhirnya berubah menjadi dewi cantik dengan sebutan Dewi Durga. Dialah yang ditugaskan untuk menghancurkan Mahesasura, dan akhirnya berhasil sehingga Durga diberi sebutan Durga Mahesasura. Durga ini digambarkan dengan kepala tiga, mata membelalak, taring mencuat keluar hidung, dan badan berbulu serta kasap. Korawasrama menggambarkan Durga bertubuh besar, tampilan mengerikan, dengan nafas busuk, rambut lengket, bibir tebal, taring tajam dengan suara bergaung seperti harimau. Sedangkan Durga pada jamanHindu, digambarkan dewi yang cantik dan lemah lembut. Dimana Durga yang mengerikan sangat cocok dengan jaman pada Bali modern saat ini, dimana Durga muncul di Jawa Timur berupa raksasi, sehingga Durga yang ada pada saat sekarang ini bisa di jumpai pada Pura-pura Dalem yang ada di Bali.
Ganeshya (Ganapati)
Juga dikenal dengan nama Vinayaka, dewa yang paling terkenal secara universal dan dipuja di mana saja di dunia ini, popular sekali di dunia barat, karena merupakan lambang ilmu-pengetahuan duniawi, spiritual dan sains, dan sekaligus menggambarkan manusia dengan segala peri-kemanusiaan, peri-kebinatangan dan peri kedewaannya secara utuh. Lambangnya hadir di agama Budha dalam bentuk Swastika merah, sebagai salib dalam kepercayaan Nasrani, dan dibalik oleh kaum Zionis (menjadi lambang istri Ganeshya yang bersifat iblis). Jangan sekali-sekali memuja lambang swastika berwarna hitam secara terbalik, iblis cepat sekali datang menyesatkan anda.
Tidak ada suatu upacara apapun juga di dalam Hindhu Dharma yang dapat dimulai tanpa memuja Dewa Ganeshya dulu, karena para dewa-dewi pernah melakukan kesalahan dalam menjaga kelestarian jagat-raya ini, maka mandate sepenuhnya dari Yang Maha Esa diwakilkan seluruhnya kepada Ganeshya, termasuk orang-tuanya harus tunduk kepada sabda Tuhan ini. Beliau juga adalah Vigneswara (penetralisir) dan Vighnaraja (pengusir bala atau bencana). Namun bentuknya yang aneh sering mengundang tanda tanya.
Sesungguhnya berbagai mantram-mantram menyiratkan Ganeshya pada awal mulanya telah hadir di Rig-Veda (2.33.1) dan (10.112.9), sebagai konsep paling dini, yang kemudian lambat laun berkembang menjadi Ganeshya masa kini. Ganapati-Brahmanaspati (konsep Rig-Veda) lambat laun mengalami evolusi spiritual dan menjadi Gajavadana-Ganeshya-Vighneswara. Di Rig-Veda beliau juga disebut sebagai Brhaspati dan Vasaspati (wujud cahaya). Beliau sering dilukiskan berwarna merah keemas-emasan dan kampak perang kecil adalah senjatanya yang paling ampuh, tanpa karunia dan persetujuan beliau semua ritus-ritus agama menjadi sia-sia, beliau tidak menerima caru dalam bentuk daging atau makanan berjiwa, namun selalu dalam bentuk manis-manisan saja, seperti buah dan berbagai sesajen buatan tangan sendiri. Beliau selalu didampingi para gana (grup penyanyi dan penari), beliau juga hadir sebagai penuntun para dewa selain manusia, dan senantiasa menuntun kita semua ibarat bundanya Durga dan Parwati ke arah kebajikan. Selain Subramaniyam, kakaknya yang amat terkenal kesaktiannya, beliau juga bersaudarakan para Marut (Marut-gana) yang pada saat ini kurang popular.
Ada beberapa versi kelahiran dewa Ganeshya ini :
(1) Suatu saat, para dewa dalam keadaan yang sulit memutuskan bahwasanya mereka membutuhkan seorang pemimpin baru guna mengakhiri berbagai rintangan, kemunduran Dewa Shiwa berinkarnasi melalui Dewi Parwati dan lahir sebagai Ganeshya.
(2) Suatu waktu secara iseng, karena marah kepada suaminya Dewi Uma membuat sebuah boneka kecil berkepala gajah (ada yang mengisahkan berkepala seorang pemuda tampan, ada beberapa versi dari kisah ini sendiri) dan melemparkannya ke sungai Gangga, dan kemudian lahirlah dewa berkepala gajah yang disebut juga Dvaimatura (yang beribu dua).
(3) Konon suatu hari, Dewi Parwati membuat sebuah boneka kecil dari selendangnya, dan memberikan nafas kehidupan kepada boneka ini. Setelah menjelma menjadi seorang pemuda kecil yang tampan, putra ini mendapatkan tugas menjaga pintu rumah Parwati dan menghadang siapapun yang masuk, karena beliau ingin menyendiri memuja Yang Maha Kuasa. Konon Dewa Shiwa yang serba tahu kembali ke rumahnya, dan ternyata sang putra tidak mengenalinya karena memang tidak diberi tahu oleh ibunya, maka beliaupun dihadang masuk oleh dewa kecil ini, yang mengaku putra Parwati. Dalam kemarahannya maka Shiwa sebagai Rudra langsung menebas kepala anak ini, dan langsung saja kepala tersebut dimakan habis oleh para gunasnya dewa Shiwa. Dewi Parwati sedih sekali akan perihal ini, dan minta anak tersebut dihidupkan kembali. Shiwa yang menyesal minta maaf kepada putranya dan mencarikan kepala baru yang sesuai dengan kodrat dan misinya berbentuk kepala gajah. Gajah yang sedang mengobrak-abrik sebuah desa ini dipenggal kepalanya untuk diletakkan di atas kepala Ganeshya, yang kemudian mendapatkan sebuatan Ganapati, bentuk Rudra yang keras. Ganeshya sendiri adalah bentuk lembut Sang Parwati.
(4) Ganeshya lahir dari unsur ether dewa Shiwa, karena teramat tampan, ia kemudian menyebabkan dewi Parwati mengutuknya menjadi buruk rupa.
(5) Ganeshya adalah Sri Krishna dalam bentuk manusia, sewaktu Sani, seorang dewa planet memandang ke arah Sri Kreshna ini, tiba-tiba kepala Sri Krishna terbang ke Goloka tempat kediaman Sri Krishna (Kreshna), raga tanpa kepala tersebut kemudian diganti dengan kepala gajah.
Konon ada 36 kisah lebih mengenai kelahiran Ganeshya ini, di dalam salah satu kisah tersebut, Ganeshya kehilangan ujung gadingnya yang patah melawan Parasurama, kemudian gading patah tersebut dipergunakan untuk menulis Mahabrata yang didiktekan kepada Resi Vyasa. gading patah juga menjadi simbol tidak ada ilmu-pengetahuan manusiawi yang abadi, yang abadi hanyalah ilmu-pengetahuan sejati akan Tuhan Yang Maha Esa (simbolnya gading utuh). Jadi arca Ganeshya memang gadingnya patah satu.
Ada juga kisah bagaimana ia mengalahkan kakaknya Skanda, dengan mengelilingi kedua orang tuanya, dengan demikian mendapatkan hadiah berupa dua orang putrid Riddi (Ridhi, dharma) dan Siddhi (kesesatan, adharma) sebagai istri-istrinya. Tentu saja kisah ini sarat simbol, karena Skanda Kakak Sri Ganeshya sebenarnya adalah seorang panglima perang, namun sangat emosional dan kurang suka berpikir panjang, sebalinya Ganseha sangat cerdas. Dalam kontes yang dimaksudkan untuk menguji kedua anak-anak mereka Shiva dan Parwati ingin menguji kecerdasan mereka, dalam perlombaan ini barang siapa mampu mengelilingi bumi sebanyak tiga kali lebih cepat dari yang lainnya, maka akan memenangkan perlombaan ini. Sewaktu Skanda terbang melesat memutari bumi, Ganeshya dengan santai saja memutari ayah-ibunya karena teringat sebuah sabda suci di dalam sebuah karya shashsta, bahwa barang siapa memutari ayah-ibunya penuh hormat tiga kali akan berpahala sama dengan memutari bumi sebanyak tiga kali, dengan demikian menanglah Ganeshya dalam perlombaan ini. Ganeshya dengan demikian juga bermakna kecerdasan dan bakti yang penuh dengan kesadaran.
Bentuk Ganeshya yang umum adalah kemerah-merahan, berbadan manusia yang gemuk pendek dengan berkepalakan gajah yang berkuping lebar sekali. Bertangan empat dengan salah satu gadingnya patah, bisa kiri bisa kanan. Keempat tangan masing-masing menggenggam Pasa dan Ankusa (kerang-kerang suci), berperut buncit (simbol kekotoran manusia yang ditampungnya setiap hari), mengenakan ikat pinggang berbentuk ular, juga mengenakan tali suci (yajnopavita). Duduk di atas singgasana emas dalam bentuk Padmasana, kadang-kadang duduk di atas bunga Padma. Kadangkala salah satu kakinya menjulur ke bawah, busananya senantiasa anggun walaupun bagian atas tidak mengenakan jubah seperti lazimnya dewa-dewa pria lainnya dan bermahkota gemerlapan. Beliau duduk dengan memadang ke satu arah, dapat ke kanan maupun ke kiri dan gemar menyantap berbagai manisan dan buah-buahan, beliau adalah simbol vegetarian sejati. Sesajen favorit beliau di India adalah semacam onde-onde yang disebut Modaka. Seekor tikus kecil (lambang pencuri) senantiasa menjadi tunggangannya. Kalau anda ingin berhenti merokok, berjudi, bertajen, ingin menjadi vegetarian atau ingin melepaskan diri dari suatu dosa tertentu, maka duduklah dengan tulus di depan sebuah arca Ganeshya, dapat dilakukan dirumah, dengan meletakkan sesajen buah atau manisan sedikit secara sederhana, disertai dupa dan bunga sedikit, lalu diletakkan di atas rokok sisa terakhir, atau uang judi atau secara simbolis kebiasaan buruk anda, dan mohon kepada beliau agar semua yang berasal dariNya dikembalikan kepadaNya sesuai dengan kehendakNya. Bacalah mantra “OM NAMO GANESHYA NAMAH HA”, tiga kali, minumlah tirta suci yang telah anda siapkan sebelumnya, makanlah sesajen yang telah anda persiapkan sedikit, kemudian bagikan sisanya kepada yang lain-lainnya. Berpuasalah hari itu, atau pada hari-hari selanjutnya seperti Purnama dan Tilem, maka seandainya anda tulus, permintaan akan langsung terpenuhi saat itu juga. Bagi yang ragu-ragu dan ingin mencoba-coba sebaiknya tidak melakukan sembahyang ini, khusus untuk yang ingin berobat saja. Selanjutnya kalau terpenuhi dan terhapus kebiasaan buruknya, teruskan dengan yoga meditasi seperti yang tertera di Bab VI, Bhagawat-Gita. Silahkan mencoba, semoga sukses.
Kembali ke Gansehya yang bermata sipit (lambang meditasi yang berkesinambungan), dengan mata ketiga terposisi di tengah-tengah kedua matanya dalam bentuk horizontal. Kepalanya bisa bertembah sampai menjadi lima pada waktu-waktu tertentu, sebuah bentuk Rudra yang menyeramkan karena berkalungkan tngkorak-tengkorak, simbol kematian adharma, pada saat tersebut dengan sepuluh tangnnya mak ajumlah senjatanya bisa menjadi total sepuluh buah atau lebih. Para istri sering dilukiskan duduk dipangkuannya di kiri dan sebelah kanan. Sedikit penjelasan tambahan untuk simbol-simbol ini : Kata Gana berarti kategori, sebuah wujud kategori yang maha utama dan tinggi, yang dikhususkan untuk Hyang Maha Esa itu sendiri. Gaja berarti gajah, gajanana atau Gajamukha berarti wajah gajah, adalah sebuatn-sebutan lain beliau. Gaja juga mengandung arti khusus sekali, yaitu tujuan akhir kehidupan alam-semesta, baik anda sadari ataupun tidak. Jadi arti lain dari gaja adalah : “DARI DIA ! UNTUK DIA! DAN KEMBALI KE DIA!”.
Beliau adalah tuntunan kita ke Kesadaran yang Tertinggi, dan berupa simbol dari buana alit dan buana agung (Suksmanda dan Brahmananda), dua dalam satu, atau satu adalah kedua-duanya. Kepala beliau melambangkan makro-kosmos dengan kata lain dari makro kosmos ke mikro kosmos dan sebaliknya adalah siklus kehidupan ini. Raga beliau adalah simbol dunia, mikro kosmis ini yang serba gemerlapan ditandai demi pemuasan berbagai nafsu. Kedua unsur tersebut adalah lambang duniawi dan spiritual, satu dalam dua dan sebaliknya. Ganeshya dengan ini menyiratkan dengan pasti inti sari Tat-Twam Asi, kata para Resi Upanishad!.
Beliau juga disebut sebagai Vighneswara, Vighnaraja (dewa penghalau berbagai rintangan), namun beliau juga dapat merintangi jalan spiritual kita dengan mengirimkan istrinya adharma untuk menjegal berbagai yagna dan upaya yang kurang tulus dan penuh pamrih duniawi dan materi, jadi berhati-hatilah dalam memujanya, jangan sampai salah. Di Indonesia kini, mulai lagi pemujaan kepada beliau ini, berbagai pura di Jawa-Bali mulai mengembalikan arca beliau ke Padmasari dan berbagai pura sakral. Syukurlah kalau eling begitu.
Beliau adalah juga simbol Vidya dan avidya (gading sempurna dan gading patah), sekali lagi istri-sitrinya adalah simbol dharma dan adharma, jadi beliau juga memiliki ilmu hitam dan putih. Unsur hitamnya di kenal dengan nama Saktiganapati atau Ucchistaganapati, namun yang lebih dikenal di India adalah unsur putihnya yang disebut Nrttaganapati, di unsur ini beliau disimbolkan sedang menari-nari, yang menyiratkan juga bahwa beliau adalah penguasa musik dan seni tari, berkat karunia dewa Brahma yang senang kepadanya.
Ada bentuknya yang bersifat brahmacari dan di sebut Varasiddhi Vinayaka. Bentuknya yang feminin disebut Ganesani, Vinayaki, Sarpakarni, Lambhamekhala, dan berbagai sebutan lainnya. Ingat, semua dewa (unsur cahaya) berasaskan unsur Lingga-yoni, setengah pria dan setengah wanita, setengah keras dan setengah wanita.
Ganeshya dipuja dalam berbagai wujud seperti lukisan, linggas, salagramas, yantras dan Kalasas (guci-guci air suci). Salagram adalah benda yang teramat langka. Swastika adalah simbol beliau, swastika yang lengkap dan ampuh adalah yang bertitik empat ditengah-tengah setiap lekukan, ditambah dua garis masing-masing di kiri-kanan swastika yang melambangkan dharma dan adharma secara seimbang. Di Bali dilambangkan dengan kotak-kotak hitam-putih. Banyak pemeluk Hindhu di Bali dan Jawa, juga saudara-saudara umat lainnya yang tidak sadar bahwasanya penjor adalah simbol lambang belalai gajah, di Bali malahan maknanya sudah lain sekali. Belalai Ganeshya menandakan bahwa di lokasi tersebut ada upacara. Di India, masih berlaku di beberapa tempat dan upacara penjor-penjor yang terbuat dari kain warna-warni ataupun hiasan janur beserta kelapa bermakna seperti ini. Penjor merah berarti ada upacara pernikahan atau yang berhubungan dengan kejayaan dan ekonomi-sosial. Penjor putih melambangkan duka-cita kematian, penjor kuning melambangkan simbol upacara sakral, demikian juga dengan makna payung. Di Indonesia tradisi ini masih hidup, namun penjor untuk duka cita telah menjadi bendera serta berwarna kuning bagi yang non-Hindhu, makna kuning saat ini kurang jelas, mungkin hanya mengikuti adat yang sudah ada semenjak dulu saja, namun kurang menguasai makna sesungguhnya.
Kuil bagi Ganeshya bertebaran di seluruh Indonesia dan India pada zaman dahulu bersatu dengan pemujaan Shakti Durga dan Shiwa. Demikianlah sejarah dan peninggalan candi-candi di Indonesia dan India membuktikannya. Melihat bentuknya yang setengah manusia, setengah hewan namun adalah dewa yang tertinggi, maka beliau adalah simbol dari tiga unsur tersebut (vidya-avidya-kesadaran akan Yang Maha Esa), suatu bentuk yang amat bermakna. Dari hewan ke manusia baru ke tahap dewa, sebuah bentuk evolusi yang sempurna. Beliau juga sering digambarkan menggenggam daun-daun ranting tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat pengobatan. Inilah faktor yang menyebabkan seluruh jajaran dewa-dewi termasuk orang-tuanya menghornmati dewa atau unsur ilmu-pengetahuan tertinggi ini, karena dizaman Kali ini yang dibutuhkan adalah kesadaran total akan hakikat kehidupan ini, dan kemana kita akan berevolusi sesudah ini, seluruh alam semesta menanti eksplorasi manusia, para dewa akan menuntun, karena sudah menjadi tugas mereka. Namun di Bali, insan Bali hanya sibuk saling berperang dengan sesama saudara, dan banyak perihan nonsense menjadi ajang pertarungannya di samping avidya seperti judi, mecaru, melupakan puasa dan tapa-brata. Kalau Ganeshya tidak dikembalikan dengan segera, mungkin saja pulau dewata akan berupa menjadi pulau asura, tanda-tanda sudah jelas ke arah sana. Pariwisata harus dikembalikan lagi, namun pariwisata spiritual yang merakyat dan bukan dengan menjual asset-aset religius kita kepada turis dengan mengorbankan adat-budaya dan kesakralan pemujaan kita. Terkutuklah manusia Bali, kalau para dewata marah, dan anak-anak kita berpaling ke agama lain yang lebih praktis sepintas lalu. Penuh dengan karunia Bali dan Jawa ini seandainya pemujaan ke Hyang Maha Esa, Hyang Widhi Wasa diarahkan secara tepat sesuai dengan kaidah Veda, Bhagavat Gita dan Upanishad yang semuanya adalah Ganeshya itu sendiri.
Kalau Ganeshya-Ganapati terkenal secara universal, bahkan terpuja dan dipuja oleh Kaum Hindhu, Buddhis dan Jains, dan sekarang oleh manusia Barat, maka kakak beliau terkenal di India Selatan, Malaysia, Singapura, Sumatera Utara dan Jakarta. Beliau yang bernama Subramaniyam atau Skanda ini adalah salah satu dewa tertuam dan sudah dipuja jauh sebelum ada faham akan Ganeshya. Beliau bahkan sudah dilukiskan di uang-uang logam kira-kira abad 1 s/d abad 5 A.D., di India Utara, basis permulaan wangsa Dravidian yang berkulit hitam sebelum mereka hijrah ke India Selatan. Tanggal enam setiap bulan kalender Syaka India, adalah hari pemujaan kepada dewa ini sampai sekarang. Shaktinya disebut Valliama. Burung merak adalah tunggangannya, kuil-kuil baginya dibangun di atas bukit termasuk di Malaysia. Beliau juga disebut dewa ular dan pepohonan (tumbuh-tumbuhan). Upacara beliau yang paling shakti adalah upacara Thaipussam yang terkenal dan menjadi ajang promosi pariwisata di Malaysia dan Singapura. Di zaman orde baru upacara ini dilarang diselenggarakan oleh pemerintahan Soeharto, sekarang telah semarak kembali di Jakarta, Tanggerang dan Sumatera Utara, khususnya di Meda, Binjai dan Pematang Siantar dimana banyak berdomisili kaum Hindhu turunan Tamil. Upacara ini unik karena mereka-mereka yang merasa hidup dan kaulnya berhasil, mengorbankan diri mereka denganmenghujamkan jarum-jarum panjang keseluruh tubuh mereka dalam keadaan kesurupan. Guru penulis telah melakukan upacara ini secara kecil pada tahun 1988 kepada penulis, namun karena mantram yang diberikan sangat ampuh maka kami tidak kesurupan, namun jug atidak merasakan sakit sewaktu lidah kami ditusuk dengan tombak kecil dewa ini. Setelah dicabut, tidak setetes darahpun yang mengalir keluar, seandainya ada darah maka upacara ini dianggap tidak berhasil. Umumnya seberat apapun, tidak pernah ada setetes darahpun yang mengalir keluar. Inilah kehebatan dan kesakralan dharma yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran lainnya, mereka lebih sibuk berblack magic dari pada berdharma. Ternyata upacara ini diikuti oleh kaum Katholik di Eropah dan Filipina dalam bentuk memanggul salib dan di paku di salib tersebut sebagai peleburan dosa. Namun masih ada tanda paku di tangan dan kaki, pada upacara Tahipussam ini, tidak terlihat tanda-tanda bekas dihujam jarum-jarum panjang ini, ataupun bekas terpotong golok tajam yang sengaja dinaiki sewaktu trans.
Wujud lain beliau adalah sebagai Skanda yang terkenal, lalu Sanmatura (beribu enam orang), ada kisahnya yang tersendiri, kemudian beliau juga dikenal dengan sebutan sakral seperti Kartikeya, Brahma-sasta, Gangeya (putra Gangga) dan Swaminatha (pewaris ayahnya). Beliau selalu dilukiskan sebagai bocah cilik mirip rishna di masa anak-anaknya, dan teramat piawai dalam menumpas para asuras. Sering juga dilukiskan berkepala enam, simbol indriyas yang seandainya mampu dikendalikan oleh otak yang sadar akan membentuk seseorang menjadi superman, sama seperti seluruh indriyas masuk ke dalam trans total dan hanya sang jiwa yang berperan di bawah bimbingan Sang Atman, inilah maksud pembersihan upacara Thaipussam ini. Biasanya para bhakta yang telah menjalani upacara sakral ini akan berubah total cara hidupnya.
Sesuai dengan ajaran Yoga meditasi yang sakral, maka terdapat enam titik pusat energi di dalam raga yang disebut juga energikesadaran, energi listrik atau motor, yang dikenal dengan nama cakras. Dimulai oleh cakra Muladhara, yang terletak di antara anus dan kemaluan laki-laki, kemudian Svadhistana (dibawah organ seks), Manipura (pusar), Anahata (jantung), Visuddaha (tenggorokan), Ajna (diantara kedua alis mata) dan Sahasrara (di atas kepala). Sewaktu seseorang berhasil menaikkan energi raganya dari cakra yang paling bawah sampai ke yang paling atas maka ia akan berhasil mendapatkan Shiwa-shakti.
Untuk manusia awam yang sehari-harinya tidak melakukan kegiatan yoga plus meditasi, maka kekuatan raganya hanya terpusat pada tiga cakra yang berada di posisi terbawah sesuai dengan aktifitasnya sehari-hari. Bagi seorang yogi, maka seluruh sistim cakra-cakranya akan berfungsi secara sempurna, Dewa Subramaniyam adalahpengejawantahan dar tahap kesadaran spiritual ini. Mantram shakti beliau tertulis di setiap lukisan beliau, dan harus diturunkan oleh seorang guru suci yang handal demi bangkitnya Kundalini, bukan seperti yang dijual dalam seminar yoga yang komersil. Banyak guru yoga di Bali dan di Jakarta, kami perhatikan sakit berat dan gemuk-gemuk karena yoga meditasinya salah kaprah padahal promosi mereka termasuk kegiatan mengajar mereka tinggi sekali. Bagaimana mungkin nama-nama beken ini yang sering muncul di TV bisa menuntun umat ke meditasi, kalau mereka sendiri sakit berat dan tidak memiliki mantram dewa Subhramaniyam yang satu-satunya telah ditunjuk jadi gurunya Raja Yoga ? (Ada yang teramat unik antara kisah dan simbol dewa yang satu ini dengan legenda Nabi Daud dan Goliath (David and the Goliath) yang ada di dalam agama dan kepercayaannya wangsa Yahudi, yaitu baik Dewa Subramaniyam maupun Daud berperawakan kecil namun mampu mengalahkan asura atau iblis yang berbadan raksasa dengan ketapel mereka. Kedua-duanya memiliki Yantra atau simbol bintang dengan enam sudut berbentuk piramid yang dijadikan lambang bintang David di Israel, dan lambing Dewa Skanda (Dewa Peperangan) di India. Bedanya di Israel, bagian kosong di dalam bintang Daud ini dibiarkankosong, namun di India, sampai kini berisikan enam huruf mantram Skanda atau Subhramaniyam yang sakti sekali, yang harus diturunkan oleh seorang guru suci kepada muridnya untuk membangkitkan Kundalini dan perang melawan dharma. Karena wangsa Israel telah menghapus mantramnya, maka mereka akan berperang terus sesama wangsa dan saudara-saudara mereka di Timur-Tengah ataupun di mana saja, akibat penghapusan mantram tersebut. Pemuda-pemudi Israel sekarang banyak yang kembali ke India untuk mempelajari fenomena ini, namun Yesus Kristus yang sadar akan hal tersebut kembali mempelajari Dharma di India selama belasan tahun dan kembali untuk menyadarkan wangsanya malahan disalib, karena dianggap ingin menyesatkan wangsa ini. Sebenarnya menurut para resi-resi suci kita, maka Tuhannya wangsa Israel yang mreka sebuat Jehovah adalah personifikasi dewa Brahma yang gemar marah-marah dan mengutuk kian kemari dengan berbagai bencana-bencana yang diturunkannya. Seluruh kitab perjanjian lamanya wangsa Israel adalah replika dari Vedanta dan puranas nenek moyang kita. Kata Sabda (Omkara) menjadi Sabbath bagi mereka, hari jumaat (Jumah) nya orang Hindhu yang merupakanhari Sang Narayana tidur beristirahat setelah mengayomi alam raya menjadi hari suci mereka. Dahulunya hari Jumaat ini adalah hari libur resmi kaum Hindu, pada hari tersebut, semua orang mati-geni dan tidak keluar rumah seharian, memakan makanan dingin yang telah dibuat sehari sebelumnya, dan boleh memakan hasil laut namun tidak daging lainnya. Hari Minggu tidak dikenal sebelum dipopulerkan oleh umat Nasrani dari Eropah. Ternyata anda mungkin merasa heran pada saat ini, apakah benar sejarah dan fakta ini, Menurut hikayat-hikayat di dalam Smritis (legenda kuno) seperti Mahabrata dan sebelumnya Ramayana, maka pengaruh raja-raja di zaman-zaman tersebut telah sampai ke Timur-Tengah melalui dua jalur. Jalur pertama capat lebih efisien yaitu melalui sungai Saraswati yang dilalui oleh kapal-kapal besar dan jalur lambat yang memakan ratusan atau seribu tahun lebih yaitu jalan darat dari India ke Timur-Tengah melalui perkembangan wangsa-wangsa seperti Afganistan, Turkesnistan, dan sebagainya yang dahulunya adalah kelanjutan dari negara Bharata itu sendiri. Peninggalan Hindu bahkan masih bisa ditemui dinegara-negara Eropah Timur, Mesir dan sebagainya. Raja-raja Mesir adalah anak cucu Rama, oleh karena itu disebut Ramses, sampai di Thailand di sebut Raja Rama sampai sekarang ini, sedemikian luasnya pengaruh dan penyebaran wangsa Bharata ini sehingga mendirikan India baru di Indonesia, bukan sebagai jajahan tetapi sebagai sister-country. Dalam perjalanan ke Indonesia (disebut Jambu atau Jawa Dwipa) melalui sungai Sawaswati ini, maka kapal-kapal besar ini menurunkan orang-orang Candala (kafir, terkutuk, buangan, pemakan anjing, yang tidak disentuh) dengan keluarga mereka di teluk Arab ini. Orang-orang buangan ini kemudian dibekali dengan buku-buku suci, onta berpunuk satu, keledai, anjing, itik, ayam, benih-benih gandung dan benih-benih lainnya , juga dibekali buku-buku suci dan alat-alat upacara agar merubah diri mereka. Sebagian dari mereka menjadi nenek moyang wangsa Arab yang di zaman itu dikenal kurang beradab (Zahiliyah)m sebagian berbaur dengan wangsa gunung-gunung di Israel. Yesus Kritus adalah sepertiga turunan campuran ini, karena bundanya Maria adalah setengah penduduk lokal dan setengah orang buangan ini, ayah Yesus adalah wangsa Israel, demikian yang kami dapati dalam pustaka-pustaka yang kami pelajari. Tiga orang Majus yang menanti kelahiran Yesus Kristus adalah sebagai kecil dari resi yang berhasil mencapai Jazirah Timur-Tengah setelah menjalani dan mengikuti bintang Andromeda yang menandakan sang Avatara akan turun jauh dari India, jadi segala persiapan spiritual telah dipersiapkan. Hebatnya lagi, bukan saja seluruh kisah kelahiran Yesus mirip dengan kelahiran Krishna, namun jumlah jajaran nabi-nabinya Israel dan Arab (kecuali Nabi Muhammad S.a.w.) dari Manu sampai ke Abraham ada dan hadir dengan nama-nama lain di dalam legenda-legenda kuno kami, jauh sebelum bangsa-bangsa India demikian juga, adat-budaya, budaya dan makanan beserta gen mereka. Yang membedakan mereka adalah mereka gemar berprang kemungkinan karena topografi yang ganas dan juga mereka adalah pemakan daging, sedangkan wangsa India adalah penganut ahimsa).
Manusia hanya berlengan-tangan dua, namun kemampuan intelektual dan intelegensia dan otak manusia mampu menemukan berbagai ilmu dan alat-alat canggih yang sekilas nampaknya mempermudah pekerjaan kita, di samping juga menjauhkan diri dari kehidupan alami dan menimbulkan dampak stress yang lebih berat. Dewa Subhramaniyam dengan kedua belas tangannya secara simbolis mewakili kekuatan dan kapasitas manusia ini. Gabungan antara enam kepala (cakras) dan dua belas tangan (kekuatan intelegensia) melambangkan manusia sempurna secara lahir dan batin (spiritual), yang bukan saja hadir sebagai seorang super-yogi namun sebagai seorang pekerja atau pemikir dan penemu ulung.
Dewa ini beristri dua, yakni Valli dan Devasena. Istri yang pertama adalah putri seorang kepala suku sederhana yang berlatar belakang kehidupan agrikultur dan seni pahat kayu. Istri kedua adalah putri Dewa Indra, rajanya para dewa, keduanya menyimbolkan persamaan derajat, dan sang dewa mencintai kedua-duanya secara sama rata. Maksud sebenarnya adalah sebuah hasil pemikiran yang menakjubkan yang sudah ada semenjak zaman dahulu yaitu, seandainya agrikultur dan industri digabung dengan kehidupan indra (sepiritual ke Yang Maha Kuasa), digabung dengan pertahanan negara, maka akan dihasilkan suatu masyarakat yang beradab dan sejahtera secara lahir dan batin, secara ekonomi, sosial dan tata negara, gemah ripah lohjinawi. Prinsip ini ternyata sudah sangat dihayati oleh nenek-moyang kita di Nusantara ini.
Sang dewa memiliki senjata berbentuk tombak yang ujungnya mirip mata pena, merupakan penghancur berbagai musuh-musuhnya. Senjata ini menyiratkan ilmu-pengetahuan dan kedigjayaan dalam menumpas unsur-unsur adharma, dalam diri kita sendiri. Burung merak adalah wahananya, dengan seekor ular yang selalu hadir diantara kedua kaki sang merak yang telah mengalahkan di ular (simbol dari sang waktu). Dengan mengendarai merak ini, sang dewa ingin menyiratkan bahwasanya ia berada di luar jangkauan sang waktu, beliau berada jauh dari dua fenomena alam yang saling beroposisi (dwandas), yaitu : dingin-panas, kaya-miskin, besar-kecil dan sebagainya.
Seandainya ular menyiratkan nafsu, mak amerak menyiratkan kehidupan selibat (brahmacari). Demikianlah dewa yang disebut juga Skanda ini menyiratkan dua faktor tersebut. Merak juga melambngkan penciptaan, dan bulunya menjadi penghias mahkota Sri Maha Vishnu, Narayana dan Krisna, karena dianggap sangat sakral dan simbolis mewakili unsur cahaya yang dilapisi warna-warni lainnya, jadi bukanlah seperti Ganeshya, maka Skanda adalah wakil langsung Sang Pencipta (Shiwa) itu sendiri. Inilah versi Shiwaistis yang diterima oleh pengikut Vaisvanawas dan lainnya di India secara lapang dada.
Ganesa merupakan putra Siwa dengan Dewi Uma, dimana di India dalam suatu upacara tampa diawali dengan pemujaan Ganesa, upacara tersebut dianggap tidak sah. Di Indonesia Ganesa menempati tempat-tempat yang angker seperti pertemuan dua buah sungai, perempatan jalan, tebing-tebing yang curam, goa-goa dan di tempat angker lainnya. Di samping itu Ganesa juga ada pada candi-candi yang menempati ruang belakang seperti yang terdapat pada candi Prambanan, candi Gebang, Candi Sambisari, candi Singosari, candi Jawi dan lainnya.
Dalam mitos kitab Korawasrama Ganesa sebagai pelebur dosa (peruwat) yang memiliki dua lontar Linggaptanala, sedangkanpada dalam Gana Stava Ganesa ditampilkan sebagai pengusir bala (rintangan) dengan ciri bermuka gajah, badan gemuk/cebol, memakai jatamakuta, nagovapita, memegang danta, pasa dan angkuda dengan perut besar, jumlah tangan empat membawa danta, aksamala, parasu, mangkok yang berisi air (ganesa India), Indonesia kosong (tanpa air).
Pada Bali modern bentuk Ganesa banyak variasinya, ada yang duduk, berdiri, tangan dua / empat, dengan atribut dana, parasu, cepupu, cemara, pustaka, dan aksamala. Dalam mitos lain, ada Ganesa menginjak tunas kelapa, dan ada pula Ganesa didampingi seorang bocah