Perenungan Menyambut Siwaratri
Artikel Umum, RenunganMemaknai Cerita Lubdhaka
Cerita Lubdhaka telah banyak sekali diulas serta dengan penafsiran yang beragam pula namun semuanya itu masih dalam kontek penyadaran diri untuk memperbaiki kehidupan di dunia ini. Untuk menyambut Hari Raya Siwaratri, sayapun akan memaknai cerita tersebut sebatas pengetahuan dan kemampuan saja.
Cerita Lubdhaka ini sangat dikaitkan dengan Siwaratri (malam siwa) yaitu malam keramat bagi umat Hindu yang diyakini sebagai penebusan /peleburan dosa. namun seiring perkembangan dan kecerdasan spiritual di Jaman Kali ini penafsiran kata “peleburan” menjadi kontroversi sehingga ada dua pendapat yang berbeda. Ada yang berpendapat kata peleburan / penebusan itu masih relevan yang tentunya tetap mempertahankan kata aslinya , yang lainnya lebih memilih kata pengampunan dari pada peleburan/penebusan.Perbedaan pendapat tersebut tentunya masing-masing mempunyai alasan serta argumennya masing-masing. saya disini tidak mengulas perbedaan tersebut,itu hanyalah istilah…untuk apa memperdebatkan istilah. Lebih baik kita jalani semampu dan sebatas pemahaman kita sendiri yang terpenting ada niat memperbaiki diri dan menjadi Hari Siwaratri sebagai Hari Perenungan atau introveksi diri selanjutnya setelah menyadari segala hal buruk yang telah diperbuat, selebihnya kita niatkan diri untuk tidak lagi melakukan sesuatu yang membawa ke jalan dosa.
Lubdaka adalah seorang manusia biasa, seperti manusia pada umumnya diapun bertanggungjawab menghidupi keluarganya dengan berburu binatang di hutan. Binatang buruan yang didapatnya sebagian dimakan bersama keluarganya selebihnya ditukarkan dengan barang-barang untuk kebutuhan keluarganya. Dia adalah pemburu yang cukup ahli sehingga tidak heran bila dia selalu pulang membawa banyak hasil buruan.
Dalam bait awal ini Lubdhaka sama seperti manusia pada umumnya, dia “bertanggungjawab akan kehidupan keluarganya, dia memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya yaitu sebagai seorang pemburu atau Lubdhaka = Pemburu”.
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini dipagi yang cerah Lubdaka pergi berburu ke hutan, namun sampai sore hari Lubdhaka tak satupun mendapatkan bintang buruannya.
Dia tidak menyerah terus melanjutkan perburuannya dihutan belantara, sambil terus mengawasi dan mencari bintang buruan dia berpikir “bila aku tak mendapat bintang apa yang akan dimakan oleh keluargaku..?. Dia semakin semangat, matanya semakin tajam menatap disekitarnya,namun hingga menjelang malam tidak juga mendapatkan binatang buruan. Dia mulai kelelahan dan haripun semakin gelap, bila pulang perjalanan sangat jauh akhirnya dia memutuskan untuk menginap di hutan.
Lubdhaka yang pekerjaannya setiap hari hanya sebagai pemburu tentunya yang tertanam dipikirannya hanyalah pengetahuan tentang menemukan binatang buruan dan cara membunuhnya.Sangat besar kemungkinan dia tidak sempat mempelajari pengetahuan Rohani atau ajaran agama.Yang tertanam di bawah sadarnya ” Binatang dan membunuh”. Dengan demikian dia sendiri menjadikan dirinya sebagai orang bodoh (spiritual) sehingga tak berpikir akan karma atau dosa atas perbuatannya itu. Yang dipikirkan hanyalah bisa bertahan hidup ( intuitif primitif), tidak memikirkan akan yang di sakiti atau dibunuh.Dia lebih memikirkan kepentingannya sendiri dan setiap harinya terus menumbuhkan sifat kebinatangan, ke egoan serta semakin membungkus dirinya dengan perbuatan dosa.Akhirnya dalam saat tertentu alam memaksanya untuk sadar akan perbuatan dosanya, alam bersimpati pada orang yang bertanggungjawab dan bekerja keras walaupun dia tidak mempelajari jnana agama. Alam dengan cintakasihnya menyadarkan dengan caranya sendiri. Lubdhaka dibuatnya tidak mendapatkan apa yang diharapkan, dengan begitu dia jadi kesal,marah dan juga binggung.Alam kali ini mampu mengeluarkan sifat kebinatangan, sifat-sifat rendahan Lubdhaka dengan keluarnya segala bentuk emosi negatifnya.
Begitu kasihnya alam pada mahluknya, Lubdhakapun kali ini dipaksa menyadari dosanya di hari khusus ini, di Hari Siwaratri.
Lubdhaka mulai mencari tempat yang aman untuk berlindung dari ancaman bahaya binatang buas seperti harimau,serigala ataupun si raja hutan, singa.Lubdhaka tentunya mengetahui akan keadaannya di hutan yang gelap tanpa sinar rembulan hanya disinari bintang – bintang di angkasa.Tak lama kemudian diapun menemukan tempat untuk menginap, tempat berlindung dari mara bahaya hutan. Dia tentunya mencari apa yang ada di dekatnya yang layak dan aman. Dia mulai memilih sebuah pohon yang cukup besar yang ada pinggir sebuah telaga dengan air yang tenang dan ditengah-tengah kolam terdapat batu yang lonjong (siwalingga).
Saat ini Lubdhaka tanpa sadar memilih tempat yang sangat tepat, dan tanpa sadar pula dia sesungguhnya telah membuka kegelapan batinnya dengan memilih “pohon kesadaran ” sebagai tempat berlindung.Saat dia berpikir terlindung dari bahaya, saat itu pula keegoan positifnya muncul yaitu agar tetap bertahan hidup sebagai rasa tanggungjawab terhadap Tuhan yang memberikan Jiwa di dalam tubuhnya.Dia tanpa sadar bahwa kali ini pikiran baiknya berkesempatan menyelinap keluar menuntunnya menuju kejalan kesadaran disaat pikiran jahatnya kelelahan. Pikiran baiknya menyatu dengan pikiran semesta dan mengajaknya menuju ke pohon kesadaran. Sang Jiwanyapun berkesempatan mengarahkan nasibnya sehingga mencapai tempat keramat Siwalingga tepat di hari keramat siwaratri. Dimana bahwa malam ini Siwa beryoga samadhi, Siwa menarik pranaNya ke dalam Dirinya. Di hari lain Siwa menjaga seluruh mahluknya dengan PranaNya, di hari Siwa ratri Siwa berdiam diri (Tapas), selayaknya saat ini para mahluk jnana berjagra menjaga energi kehidupannya sendiri (prananya) disamping merenungi kesalahan atau dosa yang telah diperbuat.
Lubdhaka mulai memanjat pohon sambil memilih dahan yang kuat sebagai tempatnya, dia memilih salah satu dahan tepat berada diatas Siwalinga (batu bulat /lonjong). Pilihannya ini dia yakin tak satu pun hewan buas akan bisa menerkamnya dari bawah, dan dahan tersebut sangat rimbun sehingga dia terasa aman bila akan turun hujan. Lubdhaka mulai melepaskan lelahnya dengan merebahkan dirinya didahan, beberapa saat dia sangat menikmati suasana hening di malam yang gelap.Tiupan angin sepoi-sepoi, suara-suara binatang malam menjadi musik penghibur yang membuatnya menjadi terasa ngantuk….namun cepat dia sadar akan keadaannya..akan tempat yang ditempatinya yang penuh bahaya…diapun mencari akal agar tidak tertidur…dia TAKUT………………..
Pohon yang dipanjatnya adalah pohon kesadarannya yang mempunyai “tujuh” cabang/dahan/titik kesadaran/tempat cakra utama.Rupanya kali ini Lubdhaka memilih tempat yang sangat tempat, dia memilih dahan yang berada tepat di atas air kehidupan Siwalinga, tempat itu tiada lain pusatnya prana, rumahnya sang jiwa individu tempatnya guru Iswarah yaitu Anahata (hati).Dimana tempat ini menjauhkan dia dari unsur bumi (keduniawian / muladhara), dia berada diatas air telaga nafsu binatangnya (Swadhistana), dia melupakan rasa lapar (Manipura)..dia menempatkan dan memanfaatkan perasaan hatinya (anahata).Begitu dia bersandar di pohon kesadaran secara otomatis segala kekuatan positif yang ada dalam dirinya membantunya seperti kekuatan Prana nafas ( udara/angin sepoi-sepoi) menyadarkannya (membangunkan) agar tetap terjaga demikian juga kekuatan yang lainnya ikut membantunya ada dengan jalan mengganggunya agar dia bisa tetap terjaga di malam siwaratri.